Chinese Public speaking contest among foreign students in Taiwan

“Everyone is the winner (semuanya adalah juara)….”
Itulah salah satu kutipan kata-kata dari salah seorang juri penilai pada lomba pidato bahasa Cina dalam ranggka memeriahkan dan memperingati hari wafatnya bapak pendiri republic Cina, Dr. Sun Yat Sen, yang jatuh pada tgl 12 November.
Sun Yat Sen adalah bapak Negara Cina, baik Taiwan atau pun Cina daratan. Dia dinggap sangat berjasa karena telah meruntuhkan kekaisaran Qing (dinasti terakhir yang berkuasa di Cina) yang dianggap bengis, otoriter dan tidak cakap dalam menjalankan pemerintahan, dan juga menggap dirinya sebagai dewa yang tidak memiliki dosa.
Dalam menghargai dan merayakan jasa-jasanya yang luar biasa, panitia peringatan wafatnya Dr. Sun Yat Sen mengadakan sejumlah agenda, salah satunya adalah lomba pidato bahasa Cina antar mahasiswa asing di Taiwan yang di adakan di Dr. Sun Yat Sen memorial hall.
Mendengarkan berita ini, laoshi (guru) bahasa Cina kami menawarkan tantangan ini ke siapa saja yang berani tampil di depan umum dengan pidato bahasa Cina. Proses regestrasi dimulai dan terjaring 14 orang yang siap beradu kempuan dalam perlombaan ini. Dari 14 orang yang mendaftar, dibagi menjadi 3 kelompok. Peraturan yang disampaikan oleh panitia, pidato bisa disampaikan per orang atau per kelompok. Maksimal waktu yang disediakan adalah 6 menit. Artinya setiap kami disediakan waktu maksimal 1,5 menit untuk bicara diatas panggung karena kami tampil denga kelompok.
Setelah membuat draft pidato dengan tema yang telah ditentukan olah panitia, lalu teks pun  diterjemahkan ke dalam bahasa Cina. Kini tiba giliran penghapalan teks pidato. Ini adalah bagian yang paling susah, karena dalam bahasa Cina ada 5 nada, beda nada bisa berubah arti. Disamping nada, ada juga cara pengucapan yang tidak dimiliki oleh kita orang Indonesi. Namun demikian, itu semua tidak menyurutkan tekad  dan niat kami untuk ikut serta dalam perlombaan ini.     
Pukul 06.00 pagi pada hari selasa kami yang berjumlah 16 orang (12 dari Indonesia, 1 dari perancis, 1 dari Slovenia, 1 dari Thailand, dan 2 pembimbing asli Taiwan) berangkat menuju terminal bus Chiayi. Dikarenakan sekarang lagi musin gugur, pukul 6 sangatlah pagi sekali dan dingin. Pukul 6.40 kami bergerak dengan bus menuju ibu kota Taiwan, Taipei. Pukul 10.00 kami tiba di main station (station utma) Taipei. Kami pun langsung beranjak dengan menggunakan MRT (mass rapid transit/kereta api bawah tanah) menuju Dr. Sun Yat Sen memorial hall  yang berjarak 10 menit dari main station.
Setibanya disana masing-masing kelompok memanfaatkan waktu luang yang ada sebelum pertunjukan dimulai. Sesaat kami perhatikan, perserta yang ikut kompetisi ini memiliki kemampuan bahasa yang jauh diatas kami. Dari kalangan peserta ada yang sudah tinggal di Taiwan lebih dari 5 tahun, ada yang dari S1 kemudian melanjutkkan S2 di Taiwan, ada mahasiswa yang dari jurusan bahasa Cina. Bahasa sehari-hari yang merakan gunakanpun bahasa Cina. Ketika mereka tampil diatas panggung, mereka tampil dengan sangat percaya diri. Bahkan mereka bisa berhumor diatas panggung. Jelas mereka bukan tandigan kami yang beru belajar bahasa Cina 1 tahun lebih beberapa bulan. Di jauh hari laoshi kami sudah mengigatkan hal ini, tapi kami tidak boleh surut dan ciut ketika melihat penampilan mereka.    
Namun alangkah terkejutnya kami, satu jam sebelum pertunjukan kami  mendengarkan berita buruk dari pembimbing kami. Panitia mengatakan penampilan tidak boleh pergrup, penampilan harus perorang karena penilaian dan hadiah  diberikan perorang. Kami pun kebingunan dengan sikap panitia. Kami tidak tahu mau menyalahkan siapa. Apakah kami yang salah memahami arti per grup dari panitia atau panitia yang memang tidak komitmen.
Satu jam adalah waktu yang tidak mungkin untuk membuat atau menambah naskah pidato yang sudah ada menjadi 2 atau 3 menit. Namun bagaimanapun kami harus tetap tampil di atas panggung, jauh-jauh kami datang dari Chiayi, 3 minggu kami menghapal teks pidato yang tidak mudah untuk dihapal dan hampir menjadi menu tiap hari, ini tidak boleh berkhir dengan sia-sia. Bagaimanapun tetap kami sanyangkan, ada beberapa teman kami yang memang tidak bisa tampil dikarenakan semua isi pidatonya intisari dari teman-teman kelompok. 
Dengan Bismillah dan hati yang mantap kami pun menghilangkan keraguan, grogi dan rasa malu  yang ada. satu per satu dari kami tampil dengan semangat yang membara diatas panggung, bahkan ada yang tampil lebih baik daripada latihan. Rasa terharu pun tidak bisa dielakkan oleh teman-teman, saking gembiranya sebagian teman-teman tidak mampu membendung air mata yang ingin tumah ke atas pipi. Akhirnya misi pidato bahasa Cina di depan mahasiswa international yang di ikuti 79 peserta pun selesai. Senyum lebar pun terlihat dari wajah-wajah kami.
Setelah panitia mengumumkan pemenang lomba pidato yang ketiga-tiganya dimenangkan oleh orang Amerika, kamipun naik ke atas panggung untuk bisa mengambil foto dengan para juri dan para pemenang. Kesempatan ini digunakan pembimbing kami untuk menkomplain kepada salah seorang juri atas sikap panitia yang tidak memiliki komitmen yang sangat merugikan kami. Si juri pun hanya mendengarkan saja tanpa memotong pembicaraanya, setelah mendengarkan komplain dari pembimbing sang juri sangat menyayangkan kejadian itu tanpa menyalahkan siapapun, namun demikian ia tetap mengapresiasi penampilan kami yang menurut dia sangat bagus. Tanpa sungkan sang juri yang juga dosen di salah satu unibersitas di Taipei mengeluarkan dompetnya dan mengambil 2 lembar uang 1.000 (700 ribuan) lalu memberikannya ke kami, dengan keras kami menolak, ia pun dengan keras tidak mau menerima kembali uang tersebut. Setelah itu kami pun bersiap-siap untuk pulang ke kampus kami.
Hikmah.
Ada hikmah atau pelajaran yang bisa dipetik dari pengalaman kali ini:
1.          Percaya dan yakin atas kemampuan diri sendiri.
                 Dari awal kami sudah menyadari rival atau peserta dalam kontes ini memiliki kemampuan yang jauh diatas kami. Namun demikian bukan berarti kami tidak bisa berbuat apa-apa. Grogi dengan kamampuan bahasa, malu karena pengucapan yang kurang adalah hal yang wajar dan mesti membelenggu pikiran kita. Namun apakah yang ada dikepala kita juga sama dengan apa yang di kepala para penonton? Ini lah yang terkadang membuat kita minder atas diri sendiri, minder untuk menunjukkan kemampuan diri kita yang sebenarnya. Padahal orang lain sama sekali tidak memirkirkan apa yang sedang kita pikirkan. Pikiran negative atas ketidak mampuan diri menjadikan kita lemah dan tidak bisa berbuat banyak. Tapi dengan kerja keras, usaha yang maksimal, yakin atas kemapuan diri sendiri dan selalu positive thinking apapun bisa kita lakukan. Rasulullah pernah menyindir kita dalam hadistnya yang artinya “ jauhilah berburuk sangka karena berburuk sangka adalah sedusta-dustanya perkataan”. Kalaulah kita cermati hadis diatas, berburuk sangka atau negative thinking tidak hanya kepada orang lain, malah yang paling penting adalah jangan berburuk sangka/negative thinking kepada diri sendiri. Kalau kita bisa untuk tidak berburuk sangka kepada diri sendiri mestinya kita juga mampu untuk tidak berburuk sangka pada orang lain.  
2.            Selalu mendegarkan keluhan orang lain.
                 Meskipun kami kalah dan hanya mendapatkan letih dipertandingan ini, ditambah dengan rasa kesal yang sangat amat dengan sikap panitia yang tidak mengijinkan kami tampil dalam grup. Tapi kekesalan itu hilang setelah kami mengekspreikanya ke salah satu juri penilai. Sang juri pun hanya mendengarkan keluhan kami tanpa mengintrupsi sepatah katapun. Ini adalah salah satu cara berimpati kepada orang lain, si juri bisa merasakan apa yang kami rasakan, dia bisa melihat rasa kesal yang ada  di raut muka kami. Dia tidak manyalahkan siapapun, tidak panitia dan juga tidak kami, dia hanya diam mendengarkan keluhan kami. Sebenarnya cara berimpati ini sudah dituliskan oleh Al-qur`an yang artinya “…. Lalu kami ciptakan dia pendengaran, peglihatan”. (QS Al Insan: 2).  Cara ini sangat baik untuk mendekatkan diri antara guru dan murid, orang tua dan anak, antara teman, juga sangat baik untuk meredam kekesalan dan kemarahan orang lain.
                 Mungkin kita pernah teringat olah salah satu X muridnya eyang subur yang sangat marah dengan mantan gurunya. Sangkin marahnya ia menghentakkan kakinya ke atas tanah seakan-akan ia sedang menginjak-injak si guru. Namun apa yang terjadi setelah itu? Apakah dia masih marah seperti sebelumnya? Tidak. Kenapa? Karena dia telah mengekspresikan kemarahannya dan orang yang ada disekitarnya hanya mendengarkannya. Ada pepatah mengatakan “kalau kamu hendak menjadi teman yang baik, maka menjadilah pendengar yang baik”.  
3.            Hargailah kerja/karya orang lain.
                 Memang kami tidak mendapatkan apa-apa, tapi kami mendapatkan perngaharggan dari penonton dan dewan juri. Ini memebuat kami semangat. Bahkan para juri menunggu kami pada kontes yang akan datang, mesti kami belum tentu ikut serta lagi.
                 Dalam lingkungan masyarakat Taiwan, mengahargai karya orang lain sangatlah umum. Setiap kali ada orang yang melakukan sesuatu, teman-teman yang lain selalu mengatakan “hěn hǎo hěn hǎo” (bagus sekali, bagus sekali), padahal yang kita tampilkan biasa-biasa saja. Berbeda dengan masyarakat kita yang selalu “to the point” dan jujur apa adanya. Masyarakat kita miskin menghargai orang lain.
                 Bagi para guru, orang tua, pengurus sangatlah baik untuk menghargai hasil kerja anak didiknya. Mereka tidak perlu marah dengan kinerja siswanya atau hasil ujian atau ulangannya yang tidak baik. Banyak faktor yang menjadikan kenapa hasil kerjanya jelek. Namun kita mesti yakin dengan kita mengapresiasi hasil kerja mereka, tanpa kita sadari kita telah mengirim sinyal positive ke murid-murid kita, dan tanpa disadari juga si anak didik telah memasukkan nilai-nilai positive kedalam dirinya.
                 Mengenai hal ini Allah berfirman yang artinya “Hai orang-orang yang beriman, janganlah sekumpulan orang laki-laki memperolok-olok kumpulan yang lain, boleh jadi yang diperolok-olok itu lebih baik dari mereka (yang memperolok-olok). Dan jangan pula sekumpulan perempuan memperolok-olok kumpulan lainnya, boleh jadi yang diperolok-olok itu lebih baik dari mereka (yang memperolok-olok)….”. (QS Al Hujurat: 11). Dari ayat ini secara tersirat kita diperintahkan untuk menghargai orang lain dalam bentuk apapun dan sekecil apapun.
Semoga Bermanfaat
Oleh: Faisal Anwar Saragih
Guru Dayah Darul IhsanAbu Hasan Krung Kalee di Taiwan.

  

Releated Posts

Santri Darul Ihsan Khidmat Ikuti Kajian Isra wal Mi’raj Bersama Ayah Faisal dan Abu Muaz (1)

Jantho – Maknai hari besar islam, Dayah Darul Ihsan Abu Hasan Krueng Kalee Peringati Isra wal Mi’raj Nabi…

ByBydarulihsanFeb 18, 2023

Lagi, Alumni Darul Ihsan, Faizul Amar khatam 2 Qiraat, Ashim dan Hafas

Cairo – Alumni Darul Ihsan Angkatan-13, tahun 2018, bernama Faizul Amar, asal Lambada Peukan. Darussalam. Aceh Besar selesai…

ByBydarulihsanDec 14, 2022

Lima Alumni Darul Ihsan Abu Krueng Kalee Sah Menjadi Azhary

Cairo- Mesir – Tidak mudah menjadi bagian dari mahasiswa universitas tertua dunia, bernama jami’ah al-Azhar al-Šyarīf. Ada bermacam…

ByBydarulihsanNov 11, 2022

17 Santri Darul Ihsan Lulus beasiswa ke Mesir, IPB dan Tahfidz al-Quran Temboro

Aceh Besar – Berbagai program seleksi mahasiswa baru baik dalam negeri dan maupun luar negeri tahun pelajaran 2019-2020…

ByBydarulihsanJul 23, 2019

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *