Pengertian Hijrah
Hijrah adalah perpindahan dari satu situasi atau kondisi yang satu ke kondisi atau situasi yang lain. Hijrah merupakan perbuatan yang dianjurkan oleh Allah SWT, bahkan bisa wajib tatkala sangat diperlukan. Secara garis besarnya hijrah itu terdiri yang bersifat fisik yaitu perpindahan tempat, dan yang bersifat non fisik yaitu perpindahan situasi atau mengubah keadaan. Hijrah bisa bernilai ibadah, jika untuk Allah dan mengikuti Rasul-Nya, dan tidak bernilai ibadah bila dilakukan bukan untuk mencarai ridla Allah SW. Beliau menandaskan lagi dalam sabdanya:
6. ومَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى دُنْيَا يُصِيبُهَا أَوْ امْرَأَةٍ يَنْكِحُهَا فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ
Barangsiapa yang hijrahnya untuk kepentingan duniawi, atau kepentingan wanita yang dinikahi, maka manfaat hijrahnya pun sesuai dengan apa yang dituju.
Hadits ini juga mengisyaratkan bahwa hijrah itu ada yang syar’i, ada pula yang tidak. Hijrah yang syar’i adalah perpindahan untuk kepentingan tegaknya al-Islam, demi meraih ridla Allah. Sedangkan hijrah yang tidak bernilai syar’i adalah yang bukan kepentingan jalan Allah, dan tidak bertujuan meraih ridla-Nya. Oleh karena itu, supaya segalanya bernilai ibadah, ikhlaskan tujuan untuk mencari ridla Allah dan melakukannya berdasar syari’ah Allah, serta mengikuti sunnah Rasul-Nya.
عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ أُنْزِلَ عَلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ ابْنُ أَرْبَعِينَ فَمَكَثَ بِمَكَّةَ ثَلَاثَ عَشْرَةَ سَنَةً ثُمَّ أُمِرَ بِالْهِجْرَةِ فَهَاجَرَ إِلَى الْمَدِينَةِ فَمَكَثَ بِهَا عَشْرَ سِنِينَ ثُمَّ تُوُفِّيَ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
Ibnu Abbas[1], meriwayatkan bahwa Rasûl SAW menerima wahyu ketika berusia empat puluh tahun, kemudian tetap di Mekah selama tiga belas tahun, kemudian diperintah hijrah. Beliau hijrah ke Madinah dan berada di sana selama sepuluh tahun hingga wafat. Hr. Ahmad (164-241H), al-Bukhari (194-256H), [2]
Da’wah Islam yang dilakukan Rasul SAW pada awalnya secara sembunyi-sembunyi, kemudian bertambah luas hingga jumlah kaum muslimin empat puluh orang, yang kemudian dibina secara khusus di Bait al-Arqam.[3] Kaum Quraisy berusaha menghalangi risalah dengan berbagai usaha, mulai dari berbagai tawaran, rayuan hingga kekerasan. Sejak tahun keempat kenabian, banyak kaum muslimin yang disiksa secara kejam, hingga mendorong Rasul untuk menghijrahkan shahabatnya ke Habsyah pada pertengahan tahun kelima. Rombongan pertama sebanyak sepuluh orang, antara lain Utsman bin Affan beserta istrinya, Ruqayah putri Rasul; Abdurrahman bin Auf, dan Zubair bin Awwam. Rombongan kedua dipimpin Ja’far sebanyak seratus orang. Pada bulan Dzul-hijah tahun keenam kenabian, Umar bin Khathab dan Hamzah masuk Islam, yang mengakibatkan semakin menambah kebencian musyrikin.
Pada tahun ketujuh dari kenabian, Bani Hasyim diboikot perekonomiannya hingga menyengsarakan. Walaupun kaum muslimin mendapat cobaan berat dari segala penjuru, terutama penindasan kaum musyrikin, baik dalam bidang ekonomi maupun politik, semua itu tidak menurunkan semangat Rasul SAW dalam berda’wah. Pada tahun itu juga, Abu Thalib sebagai pimpinan suku Bani Hasyim dan Siti Khadijah isteri Rasul yang mendukung da’wah baik materil maupun immateril, wafat.
Pada bulan syawal tahun kesepuluh dari kenabian (Mei-Juni 619 M), Rasul berangkat ke Tha’if. Namun ternyata orang Tha`if belum meraih hidayah, Rasul diperlakukan tidak layak oleh mereka bahkan mendapat lemparan batu dan kotoran hingga terluka. Menurut sebagian riwayat, setelah Rasul SAW kembali ke Mekkah maka tahun itu pula Isra dan Mi’raj terjadi, sekaligus turun perintah shalat lima waktu.
Da’wah selanjutnya dilakukan dengan mendatangi berbagai lapisan masyarakat seperti Bani Kilab, Bani Hanifah, Bani Amir, dan ternyata mendapat sambutan yang menggembirakan. Pada musim haji berikutnya, berdatanganlah masyarakat dari berbagai penjuru, yang dimanfaatkan Rasul SAW untuk menda’wahi berbagai kafilah dari luar penduduk Mekah. Di awal tahun kesebelas dari kenabian banyak orang Yatsrib yang masuk Islam seperti: Suwaib bin Shamit, Iyas bin Mu’adz, Tufail bin Amr, dan Dlamad al-Azdi.
Pada musim haji tahun kesebelas dari kenabian (Juli 620 M), jamaah Yatsrib masuk Islam. Mereka adalah kaum muda Bani Najar seperti As’ad bin Zararah dan Auf bin Haris, dari Bani Zuraiq seperti Rafi’ bin Malik, dari bani Salmah seperti Qathbah bin Amir, dari Bani Haram bernama Uqbah, dan dari Bani Ubaid bernama Jabir bin Abdillah. Mereka bertekad akan menda’wahkan Islam di Yatsrib sebagai kampung halamannya.
Pada musim haji tahun keduabelas (Juli 621 M), bersama lima orang yang sudah masuk Islam tahun sebelumnya (di luar Jabir), tujuh penduduk Yatsrib bangsa Khazraj yaitu Mu’adz, Dzakwan, Ubadah, Yazid dan Abbas serta bangsa Aus yaitu Abul-Haitsam dan Uwaim berbai’at kepada Rasul di Aqabah untuk diangkat menjadi juru da’wah. Inilah yang dinamakan Bai’at al-Aqabah pertama. Rasul pun mengutus Mush’ab bin Umair untuk ikut ke Yatsrib sebagai utusan dan melihat situasi di sana.
Pada musim haji tahun berikutnya (Juni 622 M), sebanyak 73 orang Yatsrib menunaikan haji dan berbai’at pada Rasul sebagai juru da’wah Islam, yang dinamakan Baiat al-Aqabah kedua. Mereka juga mengundang Rasul untuk hijrah ke Yatsrib, dilatarbelakangi antara lain: (1) memperluas da’wah, (2) menyelamatkan muslimin yang tertindas di Mekah dan (3) menjalin persaudaraan antara Aus dan Khazraj yang telah lama bermusuhan.
Di sisi lain, semakin luasnya jangkauan da’wah Rasul dan bertambahnya jumah muslimin, berakibat kaum musyrikin semakin membenci Rasul. Mulai saat itu kaum muslimin diperintah Rasul untuk hijrah ke Yatsrib secara berangsur. Pada hari Kamis, 26 Shafar (12-september- 622 M) para pembesar Quraisy semacam parlemen, berkumpul di Dar al-Nadwa yang diikuti oleh Abu Jahl bin Hisyam, Jubair bin Muth’im, Tha’imah, Harits, Syaibah, Utbah, Abu Sufyan, al-Nazhr, Abu al-Bukhturi, Zam’ah, Hakim, Nabih, Munabbih, dan Umayah bin Khalaf. Mereka bersepakat untuk mengepung dan membunuh Rasul SAW. Rasul mengetahui ancaman kaum musyrikin tersebut dan siang harinya beliau mengunjungi rumah Abu Bakr untuk mengajak hijrah, dan kembali ke rumahnya menunggu waktu malam tiba.[4]
Pada malam 27 Shafar (13-9-622 M), Rasul SAW dan Abu Bakr meninggalkan rumah, setelah berpesan pada Ali bin Abi Thalib,[5] untuk menempati tempat tidur beliau, kemudian menuju Goa Tsur.[6] Pada malam itu pula pembesar Quraisy sebanyak sebelas orang mengepung rumah Rasul SAW untuk melaksanakan pesan Dar al-Nadwa, padahal di rumah tersebut hanya ada Ali bin Abi Thalib. Rasul dan Abu Bakr berada di Goa Tsur selama tiga malam, hingga malam Ahad tanggal 30 Shafar.
Pada hari Senin 1 Rabi al-Awal, Rasul melanjutkan perjalanan menuju Yatsrib.[7]Senin 8 Rabi’ul-Awal /23-September-622 M (perjalanan Tsur-Quba ditempuh dalam waktu satu pekan), Rasul dengan Abu Bakr tiba di Quba dan mendirikan Masjid di depan Rumah Kalstum bin al-Hadm.[8] Di Quba, Rasul menginap empat malam dan hari Jum’at melanjutkan perjalanan. Waktu zhuhur sampai di daerah Bani Salim bin ‘Awf, perintah shalat Jum’at turun dan melakukan shalat Jum’at dengan berjamaah bersama seratus muslimin.[9] Setelah shalat Jum’at Rasul melanjutkan perjalanan dan sampai di Yatsrib tanggal 12 rabi’ul Awal. Inilah hijrah terbesar yang dilakukan Rasul SAW bersama kaum muslimin. Kota Yatsrib kemudian diberi nama al-Madinah al-Munawarah, sebagai pusat bersinarnya syi’ar Islam ke seluruh penjuru dunia.
Hijrah menurut bahasa berarti pindah, baik secara fisik maupun non fisik. Al-Qurthubi (w.671H) menandaskan:
الهجْرة معْنَاهَا الإنْتِقَال مِنْ مَوْضِعٍ إلَى مَوْضِعٍ وَقَصْدُ تَرْكِ الأوَّل إِيْثَارًا لِلثَّانِي
Hijrah berarti pindah dari satu tempat ke tempat lain dan menyengaja meninggalkan satu posisi awal menuju posisi yang ke dua.[10]
Pengertian semacam ini bisa dipahami bahwa hijrah itu perpindahan posisi, baik secara fisik maupun non fisik. Perpindahan fisik adalah pindah dari tempat yang diduduki, sedangkan pindah non fisik adalah pindah pendirian, pergantian sikap, atau perubahan tingkah laku. Menurut mufasir, orang yang berhijrah adalah:
تَرَكُوا دِيَارَهُم خَوْفَ الفِتْنة وَالإضْطِهَاد فِي ذَات الله
Meninggalkan kampung halaman karena Allah demi menyelamatkan diri dari kekacauan dan penindasan.[11]
Mahmud Hijazi[12] menjelaskan bahwa yang berhijrah adalah:
فََارَقُوا الأهْلَ وَالأوْطَانَ لإعْلاَءِ كَلِمَةِ الله وَنَصْرِ دِيْنِهِ وَلَحَقُوا بِالنَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم
Meninggalkan keluarga dan kampung halaman untuk menegakkan kalimah Allah, membela agama dan mengikuti Rasul SAW.[13]
Orang yang berhijrah karena didasari iman dan untuk jihad, maka akan meraih rahmat dan ampunan Allah SWT. Firman-Nya:
إِنَّ الَّذِينَ ءَامَنُوا وَالَّذِينَ هَاجَرُوا وَجَاهَدُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ أُولَئِكَ يَرْجُونَ رَحْمَةَ اللَّهِ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ
Sesungguhnya orang-orang yang beriman, orang-orang yang berhijrah dan berjihad di jalan Allah, mereka itu mengharapkan rahmat Allah, dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Qs.2:218.
Selanjutnya arti hijrah tersirat dalam sabda Rasul SAW, sebagai berikut:
الُمهَاجِرُمَنْ هَاجَرَ مَا نَهَى الله عَنْهُ
Orang hijrah adalah yang meninggalkan segala yang dilarang Allah SWT. Hr. Ahmad (164-241H), Ibn Hibban (w.354 H) [14]
Menurut riwayat al-Thabarani (260-360H), dalam khutbah Haji Wada, Rasul bersabda:
المُهَاجِرُ مَنْ هَاجَرَ السَّيِّئَاتِ
Orang yang berhijrah adalah yang meninggalkan segala keburukan.[15]
5. Hikmah dan Fungsi Hijrah
Wahbah al-Zuhayli[16], berpendapat bahwa hijrah fisik yang dilakukan Rasul dan para shahabatnya, cukup banyak hikmah dan fungsinya. Hikmah dan fungsi hijrah yang paling penting antara lain: (1) Tegaknya syi’ar Islam dan menghindarkan konflik keagamaan. (2) Mencari dan mendapatkan kemungkinan tersebarnya ajaran Islam. Jika kaum muslimin yang tidak memiliki peluang untuk mendapat bimbingan Islam dan memahami hukumnya di suatu tempat, maka sebaiknya hijrah ke tempat lain untuk mendapatkannya. (3) Persiapan program untuk terwujudnya pemerintahan Islami dan penyebarluasan syari’at Islam ke seluruh penjuru dunia. Semua itu nampak sekali dapat diwujudkan melalui hijrah dari Mekah ke Madinah.[17]
6. Hijrah Fisik
Ibn al-Arabi,[18] berpendapat bahwa hijrah fisik diperlukan sepanjang masa hingga hari kiamat apabila berlatar belakang sebagai berikut: (1) Melepaskan diri dari desakan perang yang merugikan muslimin, menuju ke tempat yang menguntungkan Islam dan muslimin, seperti perpindahan dari Dar al-Harbi ke Dar al-Islam. (2) Menghindarkan diri dari perbuatan bid’ah demi menyelamatkan al-Sunnah. (3) Perpindahan dari suatu tempat yang penuh maksiat dan perbuatan haram, ke tempat bersih supaya tidak terbawa arus orang durhaka. (4) Melepaskan diri dan ancaman penyakit yang apabila tidak berpindah akan membahayakan badan. (5)Menyelamatkan diri dari ancaman orang jahat karena berada di tempat yang kurang aman. (6) Menyelamatkan kekayaan yang sangat berguna bagi perjuangan Islam.
Memerhatikan uraian di atas, jelaslah bahwa hijrah fisik itu tetap diperlukan, hanya bentuk dan sifatnya bisa beraneka ragam. Namun tentang perpindahan dari Mekah ke Madinah yang diperintah Rasul SAW kepada shahabatnya hanya berlaku sebelum Futuh Mekah. Perhatikan hadits riwayat al-Bukhari berikut.
عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا هِجْرَةَ بَعْدَ الْفَتْحِ وَلَكِنْ جِهَادٌ وَنِيَّةٌ وَإِذَا اسْتُنْفِرْتُمْ فَانْفِرُوا
Ibn Abbas menerangkan bahwa Rasul SAW bersabda: Tidak ada kewajiban hijrah setelah Futuh Mekah, melainkan jihad dan niat, maka jika diseru perang segeralah penuhi panggilan tersebut. Hr. al-Bukhari (194-256H).[19]
Dengan demikian, semua hijrah itu dilakukan demi fi sabil Allah yaitu membela agama Allah. Adapun yang dimaksud لَا هِجْرَةَ بَعْدَ الْفَتْحِ tidak ada hijrah setelah Futuh Mekah, adalah tidak ada kewajiban hijrah dari Mekah ke Madinah. Hal ini tampak sekali, bahwa Rasul SAW tidak mewajibkan muslim Mekah hijrah ke Madinah, setelah Mekah beliau taklukkan dalam Futuhnya. Tanggal 10 Ramadlan tahun 8H, Rasul SAW meraih Futuh Mekah dan turun Qs. Al-Nashr, dilanjutkan dengan umrah al-Fath.
Tanggal 25 Ramadlan tahun tersebut, Khalid bin Walid menghancurkan berhala di jazirah Arab. Inilah kemenangan gemilang yang diraih kaum muslimin pada bulan Ramadlan. Setelah Futuh Mekah itu, berdasar hadits ini hijrah dimanifestasikan dalam memperbaiki kualitas umat dalam segala aspek kehidupannya. Itulah salah satu makna dari jihad dan niyyah, sebagaimana ditandaskan hadits ini.
E. Beberapa Ibrah
Dari kajian hadits di atas dapat diambil beberapa ibrah sebagai berikut: (1) Niat merupakan penentu atas nilai suatu amal, baik ucap, sikap maupun perbuatan. (2) Hijrah, nilainya bukan hanya ditentukan oleh cara, tapi juga dipengaruhi tujuan. Hijrah yang baik adalah yang ditujukan untuk kepentingan Allah dan Rasul-Nya. (3) Hijrah secara fisik dalam arti perpindahan tempat bersifat situasional. Hijrah yang mutlak dilakukan adalah perubahan sikap, dari yang kurang baik menjadi baik, terutama dalam jihad.
[1] Abd Allah ibn Abbas, lahir tahun 3 sebelum hijrah, seorang shahabat yang dido’akan Rasul agar menjadi muslim yang faham tentang agama dan memiliki keunggulan dalam mena’wil ayat. Saudara sepupu Rasul ini cukup terkenal di kalangan ahli tafsir maupun hadis. Ia juga dijuluki oleh ibn Mas’ud (w.32H) sebagai Turjuman al-Qur`an (juru bicara dalam memehami al-Qur`an). Hadits yang diriayatkan oleh berbagai muhadits darinya berjumlah 1660 Hadits, wafat di Tha`if tahun 68H
[2] Musnad ahmad, I h.236, Shahih al-Bukhari, III h.1398
[3] rumah milik al-Arqam bin Abu al-Arqam bin Asad bin Abd Allah bin Amr bin Makhzum yang dijuluki Abu Ubaid Allah. Menurut sebagian ulama wafat bertepatan dengan tahun wafatnya Abu Bakr (12H), yang lain berpendapat pada masa pemerintah Mu’awiyah bin Abi Sufyan, (40H). Rumah tersebut berlokasi di kawasan kaki bukit Shafa dekat Masjid al-Haram yang digunakan rasul SAW untuk membina shahabatnya hingga menghasilkan 150 pemimpin umat yang berkualitas.
[4] Shahih al-Bukhari, I h.553
[5] Ali bin Abi Thalib (18sH-40H), Shahabat, , Khalifah keempat dari al-Khulafa al-Rasyidin, sejak usia 6 tahun diasuh oleh rasul SAW, kemudian dinikahkan pada Fatimah. Dari pernikahannya mempunyai dua putra Hasan dan Husen, dua putri bernama Zainab dan Umm Kurtsum yang dinikah oleh Umar bin al-Khathab.
[6] Zad al-Ma’ad, II h.52
[7] Fath al-Bari, VII h.336
[8] menurut kitab rahmatan li al-Alamin, I h.102, saat itu Rasul, genap berusia 53 tahun.
[9] Shahih al-Bukhari, I h.555
[10] al-jami li Ahkam al-Qur`an, III h.49
[11] Abu Bakr al-Jaza`iri, Aysar al-Tafasir, I h.198
[12] Tahun 1969M masih menjadi Guru Besar di universitas al-Azhar Mesir, menyusun tafsir al-Wadlih yang diselsaikannya pada 15 sya’ban 1373H (1954).
[13] Mahmud Hijazi, al-Tafsir al-Wadlih, II h.52
[14] Musnad Ahmad, II h.205, Shahih Ibn Hibban, I h.467
[15] al-Mu’jam al-kabir, III h.293
[16] Prof Dr.Wahbah al-Zuhayli, pada tahun 1991M masih menjabat Kepala Program Fiqih Islam di Universitas Damascus. Kitab terbesar karya beliau antara lain al-tafsir al-Munir, 15 jilid yang tebalnya rata-rata di atas 500 halaman, dan al-Fuqh al-Islami, 8 jilid yang setiap jilidnya berkisar 900 halaman.
[17] al-Tafsir al-Munir,V:232
[18] Ahkam al-Qur’an, I h.484-486
[19] Shahih al-Bukhari, no.1703