Ilustrasi
TAHUN 2013 trend disebut “Tahun Politik”. Sebab di tahun inilah para politikus gencar melancarkan manuver politiknya untuk meraup suara Pemilu 2014 mendatang sebanyak mungkin. Jika mesin partai tidak jalan, jangan harap partainya bisa bertahan dari depakan gelombang dan hantaman badai politik yang kian hari makin memanas.
Akhir-akhir ini, di mana saja diskusi selalu bertemakan sekitar siapa dan partai apa yang layak dipilih kelak. Kendati pun pemilu masih lama namun aroma racikan adonan politik sudah sangat kentara terdengar dan tercium ada pergerakan yang mengiring masyarakat untuk memilih partai tertentu.
Bahkan banyak partai sudah tepuk dada akan memenangkan Pemilu 2014 kelak. Seiring itu pula bermunculan survey-survey pesanan partai tertentu untuk mendongkrak elektabilatas partainya masing-masing.
Kran untuk masuk dalam dunia politik pun semakin terbuka lebar. Sebagaimana kita lihat di berbagai media massa, berbagai parpol mengumumkan penerimaan Caleg dari semua kalangan baik dari tokoh agama, tokoh masyarakat, artis, pengusaha, pengacara, seniman, musisi sampai kepada dalang atau pelawak juga diberikan kesempatan berkarir dan berkarya tanpa memperdulikan moralitas dan integritas mereka.
Sekalipun ada penandatangan fakta integritas atau MoU tetap saja partai melihat pada elektabilitas atau tingkat keterpopuleran dan keterpilihan kandidat bukan pada moralitas dan kapasitasnya yang menjadi tolak ukur diterima atau tidaknya Caleg.
Sebenarnya dengan terbuka gerbang masuk ke gedung parlemen. Ditakutkan akan dimanfaatkan oleh sejumlah mafia untuk menduduki kursi empuk parlemen. Semua ini berbuntut semakin kacau balau sistem pemerintahan di negeri ini.
Siapa yang berani bertanggung jawab, dengan terbukanya peluang mereka masuk dan ketika sudah menempati posisi yang strategis di parlemen mereka membuat re-amandemen dasar-dasar hukum yang sudah lama kita sepakati dan jalankan bersama.
Dari seabrek masalah sekitar dunia perpolitikan negeri kita, ada beberapa hal yang menarik dicermati, diulas dan dianalisa;
Pertama, maraknya sejumlah artis terjun dalam ranah politik pragtis. Para artis yang nimbrung dalam ajang kompetisi 2014 yang sudah diambang pintu, sebut saja Marissa Haque, Rhoma Irama, Krisdayanti, Limbad dan segudang nama selebritis lain yang tidak mungkin kita sebutkan satu persatu.
Dari sudut pandang yuridis dan teoritis, berlabuhnya sejumlah artis ke dalam partai sah-sah saja. Namun dari aspek normatif sungguh sangat bertolak belakang, karena dalam pandangan agama Islam, mungkin juga agama lain sangat tidak tepat bila kita membidangi sesuatu urusan sementara kita tidak faham atau minimal belum mengerti dengan apa akan kita geluti.
Jadi, artis lapangannya bukan di parpol tapi berakting di film atau sinetron karena keahlian mereka berakting, sementara akting dalam dunia politik prilaku yang cacat moral.
Berikut dalil tidak boleh diserahkan urusan kalau bukan pada ahlinya. Baginda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Jika amanat telah disia-siakan, tunggu saja kehancuran akan terjadi. Ada seorang sahabat bertanya,bagaimana maksud amanat disia-siakan? Nabi menjawab; Jika urusan diserahkan bukan kepada ahlinya, maka tunggulah kehancurannya” (HR. Bukhari).
Dari hadist di atas jelas penyimpangan memilih profesi yang tidak secara profesional berimplikasi kepada malapateka atau kehancuran sistem perpolitikan kita. Dimana para wakil rakyat yang mewakili suara hati ribuan pemilihnya akan disia-siakan atau amanah yang dititip oleh rakyat akan dikhianati.
Hal senada juga disampaikan oleh Ketua Majelis Pertimbangan Partai (MPP) Partai Amanat Nasional (PAN) Amien Rais yang menilai elite politik di Indonesia sudah jauh dari tiga prinsip utama dalam berpolitik. Ketiga prinsip tersebut, menurut Amien, adalah kejujuran, amanah, dan dapat dipercaya.(Kompas.com Jumat, 8/3/2013). Sungguh berserakan contoh politisi yang tidak jujur, tidak amanah dan tidak dapat dipercaya di negeri tercinta ini.
Benar-benar sebuah negeri yang aneh bin ajaib, di negeri yang mayoritas muslim mencari tokoh yang jujur dan amanah bagaikan mencari burung gagak berwarna putih. Justru yang banyak di negeri ibu pertiwi ini adalah pemimpin atau pejabat yang munafik sebagai mana kata Rasulullah SAW dalam sabdanya: “Tanda-tanda orang munafik ada tiga: (1). Apabila ia berbicara ia berdusta. (2). Apa bila berjanji dingkari dan Apabila dipercaya ia khianati. (HR. Bukhari &Muslim).
Sebuah pesan atau cambuk bagi para selebritis yang ingin terjun ke dunia politik. Hendaknya berkaca pada kasus Angelina Sondakh yang sudah mengaku menyesal terjun ke dunia politik. (Detikcom, Jumat 14/12/12). Jadi, sebelum jauh melangkah kita sarankan untuk berfikir berulang kali. Nanti jangan menangis di depan hakim ketika terlibat dalam kasus yang berujung ke jeruji besi, dan akhirnya mengambinghitamkan konspirasi elit ini atau elit itu.
Kedua, juga tak kalah menarik yaitu terjunnya sejumlah pengusaha dalam kancah perpolitikan Indonesia. Belakangan ini media hangat memberitakan pasca keluar Harry Tanoe (HT) dari partai Nasdem hingga berlabuh ke Partai Hanura.
Kenapa kehadiran sang primadona HT sangat diharapkan oleh semua partai. Jawabannya tidak perlu kita tanyakan pada pakar politik tapi kita yang awam saja sudah bisa menakar. Alasan logis satu-satunya adalah HT berkantong tebal.
Lalu apa motif atau motivasi awal para pengusaha tertarik masuk ke dunia politik. Menurut analisa pribadi saya, mereka terinspirasi dari keberhasilan Abu Rizal Bakrie dan Surya Paloh memainkan peran penting dalam sejumlah kebijakan di negeri ini. Coba bayangkan apa nasib Ical dengan lumpur Lapindo dan mafia pajak andai dia tidak berkuasa?
Jika benar alasan para pengusaha ingin berbuat sesuatu perubahan untuk negeri ini kenapa tidak buat saja lembaga sosial seperti yang dibuat oleh Bill Gates salah seorang pengusaha terkaya di kolong planet bumi ini.
Sebenarnya hal ini lebih mulia, cepat, tepat dan efesien untuk menjangkau yang tidak terjangkau oleh pemerintah. Intinya, alasan pengusaha ingin berbuat dan mengabdi untuk negeri masih perlu dipertanyakan keabsahannya.
Dari penjelasan di atas timbul sebuah pertanyaan, mestikah orang yang terjun ke dunia politik orang yang mengerti dan faham ilmu politik? Jawabannya, ya. Pasti. Kalau tidak tutup saja Fakultas Politik karena lulusan sarjana S1, S2 dan S3 bidang politik tidak bisa mewarnai dunia perpolitikan kita. Atau bisa jadi Fakultas Politik kita seperti macan ompong kalah saing di pasaran.
Mengintip niat awal berpolitik lewat partai
Ada empat unsur yang melatarbelakangi seorang terjun ke dunia politik; untuk meraih kekayaan, kekuasaan, dan ketenaran dan panggilan jiwa untuk melakukan perubahan, (Pimpinan Media Indonesia).
Unsur pertama sangat mendominasi dan menghiasi kursi parlemen kita. Terbukti oleh data faktual Survey Indonesia Procurenent Watch mendapati sekitar 72,3 persen korupsi diinisiasi oleh pejabat pemerintah. Pengusaha biasanya hanya menjadi korban dari sistem yang korup. (kompas.com, 26/10).
Sistem demokrasi melahirkan corporation state, dimana penguasa dan pengusaha melakukan kerjasama kotor menumpuk kekayaan dengan merampok uang rakyat demi mempertahankan kekuasaan, menjadi lingkaran setan: money to politic – politic to money, hanya sistem rekrutman awal dibenahi terlebih dahulu untuk memutuskan mata rantai skandal kejahatan yang telah merongrong negeri ini.
Ironis, pengusaha hitam banyak yang menjadi funding dana pemenangan pemilu dan tentu berharap sejumlah kebijakan nanti akan berpihak ke pengusaha hitam.
Pada unsur kedua, ada juga motivasi awal menjadi pejabat untuk mengadu nasib atau berbisnis. Maka jangan heran kenapa money politik begitu kental bermain di depan mata kita dan jangan heran pula para wakil utusan mereka kembali menarik modal pemilu dengan cara apapun.
Itulah pernak-pernik kancah perpolitikan yang katanya sudah menuju demokrasi yang hakiki sebagaimana dipuji-puji oleh negara adidaya Amerika Serikat. Semestinya kita kudu berhati-hati dengan pujian yang diberikan oleh negara luar karena bisa jadi pujian terbalik.
Adapun unsur ketiga dan keempat agak sedikit kita lihat, sehingga keberadaan mereka dalam gedung parlemen tidak bisa membawa perubahan yang signifikan.
Solusi untuk memperbaiki citra parlemen kita
Sebuah sekolah atau instansi pendidikan ketika ingin meningkat kualitasnya, hal yang pertama dan utama dilakukan adalah mengevaluasi mekanisme rekrutmen calon anak didik. Calon anak didik hasil seleksi yang diharapkan adalah yang berpotensi di bidangnya bukan melihat kantong orang tuanya tebal atau tidak.
Begitu juga hendaknya ketika berbagai parpol merekut Caleg dari kalangan yang berpotensial serta tidak melirik ke finansial kandidat yang ingin bergabung.
Jadi,Idealnya seorang politisi sudah mapan tentang pengetahuan agama, umum dan ilmu politik. Tidak boleh belajar sambil jalan. Ini bisa berakibat pailit dan lumpuhnya fungsi parlemen dalam mengatur dan mengawasi jalannya roda pemerintahan.
Akhirnya kita semua berharap, semua parpol berhasil mengumpulkan orang terbaik dalam membangun negeri ini untuk lima tahun mendatang. Kita juga berdoa kepada Allah SWT agar meneguhkan hati para pimpinan kita bersaing secara sehat untuk meraih kemenangan.
Ingat, kekuasaan adalah amanah. Dan kekuasaan bagian dari ihwhal duniawi. Perkara mengejar duniawi bagaikan kita minum air laut, semakin banyak diminum semakin haus dan dahaga yang kita rasa. Dewasa dalam berpolitik sebuah keniscayaan. Artinya siap maju untuk menang dan siap untuk kalah.[]
* Peminat dan pemerhati sosial, berdomisili di Kompleks Dayah Darul Ihsan Haji Hasan Kreung Kalee, Siem Aceh Besar.
– See more at: http://atjehpost.com/saleum_read/2013/03/13/43621/77/3/Mengkritisi-mekanisme-rekrutmen-caleg-Pemilu-2014#sthash.EcO1Q6QU.dpuf