JAKARTA, KOMPAS.com – Selama 12 hari, ada 11 guru dari pondok pesantren seluruh Indonesia dikirim ke Jepang untuk melihat pola pendidikan yang diterapkan di sana. Salah satu hal yang mencuri perhatian para guru ini adalah penanganan anak-anak disabilitas dalam sekolah.
Guru dari Pondok Pesantren Dayah Darul Ihsan Aceh, Ustadz Mutiara Fahmi Razali, mengatakan bahwa para guru di Jepang sangat sabar dalam menangani anak-anak berkebutuhan khusus ini. Uniknya lagi, anak-anak penyandang disabilitas ini tidak dibedakan dengan anak-anak lain.
“Kalau di sini, anak-anak disabilitas ingin belajar harus masuk SLB. Tapi di Jepang, semua anak berhak belajar di sekolah swasta dan sekolah negeri apapun kondisinya,” kata Fahmi, saat Penyerahan Sertifikat Kunjungan ke Jepang di Hotel Pullman, Jakarta, Jumat (16/11/2012) malam.
Menurutnya, hal ini memiliki efek positif yang luar biasa karena anak-anak ini tumbuh dengan rasa percaya diri. Meski memiliki kekurangan tertentu, anak-anak ini tidak akan merasa rendah diri dan justru membuatnya termotivasi untuk mengubah kekurangan menjadi kelebihannya.
“Waktu itu, saya melihat ada anak down syndrome berusia sekitar 10 tahun sudah mampu membuat kerajinan tangan. Saya di Aceh ada saudara dengandown syndrome juga, sudah umur 17 tahun tidak bisa apa-apa karena mencecap pendidikan sekalipun tidak,” ujar Fahmi.
Dalam kesempatan yang sama, guru dari pondok pesantren As-Salaam Jawa Tengah, Muflih Wahyanto, mengungkapkan hal serupa. Ia takjub melihat seorang guru di sebuah Sekolah Dasar (SD) dengan sabar mengurus seorang anak berkebutuhan khusus. Saat ada kegiatan makan bersama, guru tersebut menyuapi si anak dengan telaten.
“Saya belum pernah lihat ada guru di Indonesia sesabar dan setelaten itu. Hal-hal semacam itu kami pelajari banyak dari Jepang,” ungkap Muflih.