ADA fenomena menarik ketika saya menjadi pendamping dalam Musabaqah Fahmil Quran Tingkat Madrasah Aliyah se Banda Aceh dan Aceh Besar di Kantor Kanwil Aceh baru-baru ini.
Diakui atau tidak hasil dari setiap perlombaan menjadi barometer untuk mengukur great sekolah yang dilombakan. Dari hasil sementara, rata-rata sekolah yang masuk ke semifinal adalah sekolah atau madrasah berbasis dayah (boarding school).
Sementara MAN (Madrasah Aliyah Negeri) yang dananya disuport oleh negara tidak banyak menghasilkan produk unggul. Kalau tidak ingin kita bilang gagal. Dari sekian banyak MAN yang ikut hanya satu yang lolos ke babak semifinal. Selebihnya diraih oleh anak MAS (Madrasah Aliyah Swasta) atau madrasah berbasis dayah terpadu.
Kelemahan itu sungguh tidak sebanding dengan dana yang dikucurkan oleh pemerintah untuk biaya operasional setiap bulan per sekolah mungkin menyerap dana ratusan juta rupiah berupa gaji guru plus ATK dan lain-lain.
Menurut amatan penulis, soal fahmil Quran yang buat oleh panitia Penamas (salah satu satuan kerja di Kanwil) hanya berkisar tiga pokok masalah;
1. Pemahaman terjemahan Alquran atau komplitnya kita bilang wawasan quraniyyah
2. Tajwid (ilmu baca Alquran)
3. Skil berbahasa asing yakni dalam bahasa Arab dan Inggris.
1. Pemahaman terjemahan Alquran atau komplitnya kita bilang wawasan quraniyyah
2. Tajwid (ilmu baca Alquran)
3. Skil berbahasa asing yakni dalam bahasa Arab dan Inggris.
Ternyata siswa-siswa dari MAN kurang mengusai ilmu di atas. Sementara di dayah atau pesantren untuk mendukung item pertama adanya mata pelajaran Tafsir Alquran atau Tarjamah dan Muthalaah. Item kedua didukung mata pelajaran Alquran berupa kelas Iqra, Tahsin dan Tahfidh. Item ketiga didukung oleh program wajib berbahasa asing yakni bahasa Arab dan Inggris.
Nah, dari tulisan di atas dapat kita simpulkan Kanwil layaknya mengadopsi sistem belajar di dayah terpadu untuk diterapkan di madrasah aliyah lainnya. Sekolah berbasis dayah ini tidak saja berhasil mendidk mereka dalam ranah kognitif, kognigif, dan psikomotorik, tapi juga afektif. Artinya, siswa juga dididik mengenai sikap, minat, emosi, nilai hidup dan operasiasi siswa.
Fenomena itu adalah wujud dari kelengahan kita dari kalangan pendidik, pemerintah dalam ini Kanwil terlalu monoton dalam menjalankan roda pendidikan tanpa melakukan inovasi atau gebrakan ke arah yang positif.
Kiranya tulisan singkat ini jadi bahan masukan buat kita di kalangan pendidik. Goresan ini juga tidak bermaksud mendiskreditkan Madrasah Aliyah Negeri. Allahu alam bishawab.
Mustafa Husen Woyla, Pejabat sementara bagian Eskul Dayah Darul Ihsan Tengku Haji Hasan Kreung Kalee, Siem, Aceh Besar