Syaikh Haji Muhammad Hasan, atau yang lebih dikenal sebagai Abu Krueng Kalee, adalah seorang ulama terkemuka Aceh yang memiliki dedikasi luar biasa dalam pendidikan Islam dan pembangunan masyarakat. Perjuangan terbesarnya tercermin dalam pendirian serta pengembangan Dayah Darul Ihsan, sebuah lembaga pendidikan yang beliau bangun dengan kesabaran, komitmen, dan visi jangka panjang.
Pada masa awal berdirinya dayah, lingkungan sekitar masih sunyi—dikelilingi pepohonan, kebun warga, serta hamparan tanah kosong yang belum tersentuh pembangunan. Namun, bagi Abu Hasan, kondisi tersebut bukan hambatan, melainkan peluang untuk menciptakan pusat pendidikan agama yang tenang dan ideal. Beliau sering digambarkan berjalan perlahan di lokasi yang kelak menjadi pusat dayah, memperhatikan arah angin, saluran air, dan kondisi tanah, seolah-olah sedang berdialog dengan alam sebelum menata sebuah karya besar. Ketelitian ini menjadi ciri khas beliau: tidak hanya memikirkan fisik bangunan, tetapi juga keberkahan tempat belajar bagi para santri.
Pembangunan dayah dimulai dengan kesederhanaan. Pada awalnya, hanya ada rangka kayu dan dinding seadanya yang dibangun melalui gotong-royong masyarakat. Abu Hasan selalu hadir dalam setiap tahap—memikul kayu, mengikat tali, membersihkan lahan—menjadi teladan yang membangkitkan semangat warga. Anak-anak muda desa pun turut membantu menggali tanah atau mengangkat bahan bangunan.
Di masa pembangunan tersebut, Abu Hasan juga mulai merumuskan arah pendidikan yang ingin diterapkan. Beliau tidak menginginkan Dayah Darul Ihsan sekadar menjadi tempat menghafal kitab atau mempelajari fikih secara teoritis. Beliau ingin mencetak generasi beradab, disiplin, memiliki keberanian moral, dan tulus dalam beragama. Di bawah naungan pohon besar yang tumbuh di sekitar dayah, beliau merenungkan kurikulum, memilih kitab, serta menyusun metode pembelajaran yang sesuai dengan karakter masyarakat Aceh.
Para murid awal menggambarkan beliau sebagai sosok guru yang lembut sekaligus tegas. Bahasa pengajarannya mudah dipahami, meski isi ilmunya mendalam. Ketika pondok-pondok pertama berdiri, para santri berdatangan dari berbagai kampung, bahkan dari daerah yang jauh. Mereka membawa tikar, bantal kecil, dan kitab-kitab lusuh. Abu Hasan menyambut mereka satu per satu, memastikan setiap santri memiliki tempat tinggal dan ruang belajar. Hubungan beliau dengan para santri benar-benar seperti ayah dan anak.
Setiap hari, Abu Hasan bangun lebih awal daripada para santri. Beliau berkeliling komplek dayah, memeriksa kebersihan sumur, memastikan dapur memiliki kayu bakar, dan mengecek kamar santri agar aman dari hujan. Kepedulian itu membuat para santri bukan hanya hormat, tetapi juga sangat mencintai beliau.
Seiring waktu, reputasi Dayah Darul Ihsan semakin dikenal. Jumlah santri bertambah, begitu pula dukungan masyarakat yang menyumbangkan bahan bangunan, beras, kayu bakar, hingga hasil kebun. Pembangunan dayah seolah tak pernah selesai; setiap selesai satu bangunan, kebutuhan baru muncul—ruang belajar tambahan, mushala yang lebih luas, atau lahan pertanian untuk membantu memenuhi kebutuhan santri.
Di balik semua itu, Abu Hasan selalu memohon bimbingan Allah melalui doa-doa panjang di malam hari. Banyak masyarakat melihat lampu kecil di rumah beliau masih menyala hingga larut, tanda bahwa beliau masih membaca kitab atau menyiapkan pelajaran. Dedikasi ini menunjukkan bahwa membangun dayah tidak hanya membutuhkan tenaga fisik, tetapi juga ketulusan dan kesungguhan batin.
Beberapa tahun kemudian, Dayah Darul Ihsan berkembang menjadi pusat pendidikan Islam yang hidup. Suara santri mengaji bergema setiap subuh, sementara siang hari diisi dengan halaqah kitab kuning bersama para guru. Semua kejayaan ini berakar dari ketekunan dan visi besar Abu Hasan yang telah menanam fondasi kuat bagi tradisi keilmuan yang bertahan hingga kini.
Hingga saat ini, jasa dan perjuangan beliau terus dirasakan. Banyak alumni dayah menjadi pemimpin, pendidik, dan tokoh masyarakat di berbagai daerah. Mereka membawa nilai-nilai yang diwariskan Abu Hasan: iman yang kuat, keikhlasan, tanggung jawab, dan pengabdian kepada umat. Dayah Darul Ihsan tidak hanya menjadi tempat menuntut ilmu, tetapi juga rumah yang membentuk karakter.
Warisan moral dan intelektual yang ditinggalkan Abu Hasan menjadi bukti bahwa perjuangan tulus akan terus hidup, meskipun pendirinya telah tiada.(LizatiDezenove19@gmail.com)
Tulisan ini merupakan tugas akhir semester; Lizati Munawarah – Ifatul Maghfirah – Tiara Aulia Rahmadani – Lailatul Badri Yenni
Jurusan Pendidikan Bahasa Inggris – Universitas Syiah Kuala