Dayah Ternyata Indah Juga Ya

 

Oleh: Cinderella*

Malam itu sunyi terasa begitu rapat, hanya suara jangkrik yang sesekali memecahnya, dan bulan menggantung tenang di langit, ditemani bintang-bintang kecil yang berkelip malu. Aku duduk di teras rumah, diapit oleh ayah dan ibu. Kami bicara pelan, seolah takut membangunkan malam yang sedang tidur.
“Ayah sama Ibu sudah sepakat,” kata Ibu perlahan, suaranya lembut tapi tegas, “kamu akan masuk dayah.”

Kata dayah itu jatuh begitu saja, kecil, tapi bergema panjang di dalam kepala. Seperti batu yang dilempar ke danau tenang, permukaannya bergelombang lama meski batu itu sudah tenggelam.

Aku terdiam. Dunia seperti berhenti. Rasanya seakan aku baru dijatuhi hukuman, hukuman yang tidak kumengerti, dipindahkan ke tempat asing yang kutakuti. Dalam hati kecilku, dayah terasa seperti penjara suci.

Malam itu aku berlari ke kamar, menutup pintu perlahan, lalu menangis di sudut yang paling gelap. Di antara isak, pertanyaan bermunculan seperti air yang tak terbendung: Kenapa harus dayah? Apa Ayah dan Ibu sudah tidak sayang lagi? Apa aku anak yang menyusahkan?
Aku tidak tahu. Yang kutahu hanya satu: malam itu hatiku seperti hujan.

Menghitung Hari, Menghitung Takdir

Beberapa hari setelahnya, Ayah dan Ibu mengajakku melihat beberapa dayah. Katanya hanya “melihat suasana.” Aku menurut, tapi dalam hati enggan. Kami berkeliling, Fatih, Darul Ikhlas, dan Darul Ihsan.
Semuanya tampak sama di mataku, bangunan sederhana, suara ngaji yang bergema, dan aroma tanah basah yang khas. Tapi ketika kami memasuki halaman Darul Ihsan, langkahku berhenti. Ada sesuatu di udara yang berbeda, teduh, hangat. Mungkin senyum para santri yang menyambut, atau hatiku yang mulai luluh perlahan.

Aku tak bilang apa pun, tapi Ayah menatapku seolah mengerti. “Coba daftar di sini, ya,” katanya. Aku hanya mengangguk.
Sejak itu waktu berjalan seperti pasir di jam pasir yang terus menipis.
Satu bulan lagi. Dua minggu. Tujuh hari. Tiga hari.

Aku mulai menyiapkan baju, mukena, buku-buku, tapi yang sebenarnya kupersiapkan adalah keberanian.
Minggu, 14 Juli 2024. Hari terakhir aku di rumah.
Ibu memelukku lama. “Ibu cuma mau kamu jadi anak yang kuat, ya,” bisiknya. Aku mengangguk, meski tenggorokanku tercekat. Sebelum berangkat, tante dan paman memberiku “salam tempel,” di tengah air mata aku masih sempat tertawa kecil.

Hari-Hari Pertama: Antara Betah dan Gelisah

Hari-hari pertama di dayah tidak seburuk dugaanku. Suara azan subuh membangunkan seluruh asrama, sandal-sandal berderap menuju kamar mandi, suara ngaji mengisi udara pagi. Aku mulai terbiasa.
Tapi rasa betah itu hanya bertahan beberapa hari.

Pada hari kelima, hening berubah menjadi sepi. Sepi menjadi rindu.
Aku mulai menangis setiap malam. Bukan keras, tapi diam. Kadang hanya menatap langit-langit, membiarkan air mata jatuh tanpa suara.
Namun setiap pagi aku tetap bangun, menyeka air mata, lalu menjalani hari seperti tidak terjadi apa-apa.

Aku tak punya banyak teman. Hanya tiga orang yang dekat denganku. Mungkin karena aku terlalu sibuk, PR menumpuk, hafalan Al-Qur’an, dan ekstra menulis. Menulis adalah pelarian, tempat aku berbicara pada diriku sendiri yang lebih tenang.

Suatu sore, ada yang memanggil dari kejauhan, “Cantikaaa!”
“Iya, kenapa?”
“Nanti sore main yuk!”
Aku menggeleng. “Nggak bisa, aku ada ekstra menulis.”
Dia cemberut. “Kamu baik, tapi susah diajak main!”
Aku hanya tersenyum. Kadang, kesendirian bukan kesepian. Hanya ruang untuk mendengar diri sendiri.

Kak Clarissa dan Cahaya di Tengah Hari
Hari itu aku bertemu seseorang yang mengubah pandanganku tentang belajar. Namanya Kak Clarissa Humaira. Kakak kelas yang cantik, pintar, tapi ramah.
“Kak,” tanyaku pelan, “gimana caranya bisa pintar kayak Kakak?”
Dia tersenyum. “Mulai dari hal sederhana. Hormati guru. Lawan malas. Dan jangan takut salah.”

Beberapa hari kemudian kami bertemu lagi.

“Kamu lagi ngapain, Ca?”
“Ngerjain PR nahwu, sharaf, sama bahasa Inggris.”
“Kalau mau, aku bantu.”
Sejak itu Kak Clarissa jadi seperti cahaya kecil. Ia tidak hanya membantuku memahami pelajaran, tapi menuntunku mencintai usaha dan doa.

Raisa: Rumah dalam Bentuk Seseorang
Di dayah, aku juga punya teman yang lebih dari sekadar teman. Namanya Raisa. Kami tidak sekamar, tapi satu rasa. Raisa adalah rumah dalam bentuk manusia, tempat aku bisa tertawa tanpa takut dihakimi, menangis tanpa harus menjelaskan alasannya.

Kami sering begadang, berbagi cerita, tertawa sampai lupa waktu. Pernah kena hukuman bagian bahasa karena kepergok ngomong Bahasa Indonesia. Tapi kami malah tertawa, di tengah hukuman, kami tetap saling kuatkan.
Suatu hari aku sakit. Badanku panas, kepala berat. Raisa datang membawa nasi dan obat. “Makan ya, Ca. Harus kuat.”
Dalam diam aku bersyukur. Allah menggantikan rumahku dengan orang-orang yang tulus mencintai.

Dan Aku Pun Belajar Pulang

Waktu berjalan, tahun berganti. Aku bukan lagi anak yang menangis karena takut ditinggalkan. Aku belajar berjalan sendiri, belajar mencintai tanpa memaksa, belajar bahwa rindu tidak harus sembuh, cukup diterima.
Dayah tidak seindah dongeng, tapi di sinilah aku menemukan diriku yang baru: yang tahu bagaimana bertahan, mencintai dengan sederhana, dan percaya bahwa semua ini bukan hukuman, melainkan jalan pulang.

Dayah itu seru, ya?
Seru, karena di sinilah aku menemukan diriku sendiri.

*Penulis bernama asli Aisyah Nur Arafah anggota kelas menulis Dayah Darul Ihsan Abu Krueng Kalee.

*Tulisan ini adalah bagian dari buku Antologi Cerpen berjudul “Menyulam Sejarah dan Menulis Masa Depan”.
Ditulis secara Meuseuraya dalam rangka memperingati Hari Santri Nasional yang tahun ini mengusung tema “Mengawal Indonesia Merdeka, Menuju Peradaban Dunia.” 22 Oktober 2025 di Siem – Darusalam – Aceh – Indonesia.

Facebook
X
Pinterest
WhatsApp
Email