AIR MATA PENUH MAKNA

 

Penulis: Asyikalillah
Nama Pena: Itik Kalem

Gerimis turun perlahan di halaman Dayah Darul Ihsan, seperti benang-benang tipis yang dijahitkan langit untuk menutup hari. Tidak ada suara deras yang memecah suasana, hanya rintik lembut yang seolah-olah ikut menampung kesedihan yang sejak tadi menggenang di dada seorang santri bernama Layla.

Layla duduk sendirian di ujung serambi masjid, punggungnya menempel pada tiang kayu yang dingin, sementara kedua lutut ia peluk rapat-rapat, seakan ingin menahan sesuatu agar tidak pecah. Suasana sunyi senja, bercampur aroma tanah basah, membuat dadanya semakin terasa sesak.

Usianya baru enam belas tahun, namun beban yang ia bawa jauh lebih berat daripada tumpukan kitab kuning di rak asrama. Lima tahun lalu ia tiba di dayah ini, membawa koper usang dan hati yang seakan sudah kehilangan tempat pulang.

Ayahnya seorang pengusaha kota, lelaki yang hidup dikejar ambisi tanpa sempat menengok siapa yang tertinggal. Ibunya adalah sosialita yang sibuk mengatur pencitraan. Rumahnya luas, tetapi hatinya sempit. Ruang makan selalu penuh tamu, tetapi tak pernah ada kursi untuk perasaannya sendiri.

Layla tumbuh sebagai anomali, sebuah titik gelap di foto keluarga yang sering mereka pajang untuk publik. Ia tidak pernah menjadi kebanggaan maupun kebutuhan. Keberadaannya hanya dianggap pelengkap, atau kadang malah pengganggu harmoni yang ingin mereka tampilkan.

Suatu hari, dengan nada paling dingin yang pernah ia dengar, ibunya berkata,
“Masuk pesantren saja, Layla. Hidupmu lebih teratur. Biar kamu fokus belajar.”

Bukan nasihat, bukan kehangatan, hanya kalimat pengusiran yang dibungkus seolah perhatian.

Dan Layla menurut.
Ia memilih Dayah Darul Ihsan, sebuah dayah yang terkenal disiplin, jauh dari hiruk pikuk kota. Di sini, ia memang menemukan doa, aturan, dan ketenangan, namun menerima dirinya sendiri adalah pekerjaan yang belum selesai.

Kadang ia merasa diterima oleh para guru, para santri, dan lingkungan yang sederhana. Namun kehampaan itu tetap menetap seperti bayangan yang mengikuti ke mana pun ia berjalan. Dalam setiap sujudnya ada luka, dalam setiap paginya ada rindu yang tidak tahu kepada siapa harus pulang.

Sore itu, air matanya jatuh satu-satu, hangat dan asin, menyerap di lipatan sarung yang membalut kakinya. Di tangannya, sehelai kertas yang sedikit kusut, surat tulisan tangan. Bukan dari ibunya yang sibuk berpose untuk majalah, bukan dari ayahnya yang mengukur cinta dengan pencapaian, tetapi dari Ummi Halimah, istri teungku pengasuh dayah.

Ummi Halimah bukan tokoh besar. Tidak muncul di baliho, tidak berbicara lantang. Namun dari semua orang yang Layla temui, dialah satu-satunya yang membuat Layla merasa ada. Wanita tua yang selalu menutup percakapan dengan senyum tipis dan menyuguhkan teh hangat walau ruangan sudah penuh uap air mendidih.

Matanya lembut, lembut yang bukan sekadar ramah, tetapi menenangkan, seperti melati yang mekar di halaman selepas magrib. Sorot matanya memiliki kemampuan aneh, menembus dinding emosi yang selama ini Layla bangun sendiri, tanpa memaksa, tanpa bertanya banyak, sekadar hadir dan itu sudah membuat Layla merasa aman.

Surat di tangan Layla petang itu bukan surat panjang. Tidak penuh petuah berlebihan. Tulisan Ummi selalu sederhana, namun ada kehangatan yang sulit dijelaskan.

Layla membaca kembali dari awal:

“Layla sayang, beberapa luka memang datang terlalu dini. Namun ingat, bukan semua luka diciptakan untuk menyakitimu. Ada luka yang Allah hadirkan untuk menguatkanmu. Kau tidak sendiri di sini. Jika hatimu lelah, datanglah. Aku di dapur, seperti biasa, menunggumu dengan teh hangat.”

Tangan Layla bergetar. Ada kalimat sederhana yang langsung menembus dadanya,
Aku di sini, menunggumu.

Belum pernah ada seseorang yang menunggunya sebelumnya. Tidak pernah ada yang bertanya apakah ia sedih, terluka, atau takut. Ia selalu menjadi figuran dalam hidup orang lain, tidak pernah menjadi tokoh utama dalam hatinya sendiri.

Gerimis semakin halus. Masjid mulai temaram. Jauh di ujung koridor, terdengar suara langkah yang pelan dan tertata. Layla tidak perlu menoleh untuk tahu siapa itu. Aroma melati yang halus mendahului sosoknya.

“Layla,” suara itu lembut, seperti memanggil bukan dengan suara tetapi dengan hati.

Layla mengangkat wajahnya. Mata mereka bertemu, dan seluruh benteng yang ia pertahankan selama bertahun-tahun runtuh begitu saja.

“Ummi…” suaranya pecah.

Ummi Halimah duduk di sampingnya, tidak mengatakan apa-apa, tidak memaksa Layla bercerita. Ia hanya menepuk bahu Layla perlahan, seperti menenangkan anak kecil yang baru saja terbangun dari mimpi buruk.

Hanya keheningan, hanya gerimis, hanya dua hati yang duduk berdampingan tanpa perlu merangkai kata.

Di detik itu, Layla merasakan sesuatu yang selama ini ia cari, bukan rumah, bukan kemewahan, bukan pujian orang tua, melainkan tempat untuk pulang.

Tempat di mana air mata tidak dianggap kelemahan, tempat di mana seseorang menunggu tanpa syarat, tempat di mana luka boleh datang tanpa harus disembunyikan.

Di bawah langit yang mulai gelap, Layla akhirnya mengerti.
Kadang, keluarga tidak selalu datang dari darah. Ia datang dari orang yang memeluk kita ketika dunia menolak.

Dan petang itu, di Dayah Darul Ihsan, Layla menemukan serpihan dirinya yang sempat hilang, bersama gerimis, bersama surat sederhana, bersama Ummi Halimah yang lembut seperti doa.

Air mata itu bukan kelemahan, itu adalah tanda bahwa Layla akhirnya pulang. [*]

 

Facebook
X
Pinterest
WhatsApp
Email